A.
Pembentukan
Konsep Diri
Remaja adalah
masa transisi dari periode anak ke dewasa. Namun, apakah kedewasaan itu? Secara
psikologis, kedewasaan tentu bukan hanya tercapainya usia tertentu misalnya
dalam ilmu hukum. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada
ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang. Cirri-ciri psikologis itu menurut
G.W Allport (Sarlito,2012) adalah :
1.
Pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang
ditandai dengan keampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai
bagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri)
berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas
adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya.
Kemampuan untuk menenggang rasa dengan orang yang di cintainya, untuk ikut
merasakan penderitaan yang di alami oleh orang yang di cintainya. Itu
menunjukkan adanya tanda-tanda kepribadian yang dewasa (mature personality). Di
samping itu juga adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita, idola dan
sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
2.
Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif
(self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan
tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense
of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Ia tidak
marah JIka di kritik dan di saat-saat yang diperlukan ia bisa melepaskan diri
dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
3.
Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of
life). Hal ini dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya
dalam kata-kata. Orang yang sudah dewasa tahu dengan tempatnya dalam kerangka
susunan objek-objek lain dan manusia-manusia lain didunia. Ia tahu kedudukannya
dalam masyarakat, ia paham bagaimana seharusnya ia bertingkah laku dalam
kedudukan tersebut dan ia berusaha mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang
ia tetapkan sendiri. Orang seperti ini tidak lagi mudah terpengaruh dan
pendapat-pendapat serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.
Ciri-ciri
yang di sebutkan Allport tersebut biasanya dimulai sejak secara fisik tumbuh
tanda-tanda seksual sekunder. Ia mulai jatuh cinta, mulai punya idola, dan
seterusnya. Akan tetapi kapan berakhirnya? Apakah benar anggapan sementara
orang bahwa setelah usia 20 tahun manusia tidak berubah lagi kepribadiannya?
Kepribadiannya akan mengeras seperti semen dan karenanya patut di beri hak
penuh pada usia 21 tahun seperti dalam hukum perdata?
Pendapat
semacam ini sekarang sudah mendapat
tantangan dari beberapa sosiologi seperti O.G Brim dan psikolog seperti Jerome
Kagan (Sarlito,2012). Terry Rubin, misalnya yang pada 1970-an adalah seorang
Yippie, sepuluh tahun kemudian menjadi analis di Wall-Street dengan jas dan
dasi. Richard Appert, asisten professor psikologi di Harvard, terlibat
narkotika, pergi ke India dan kembali sebagai guru mistik berjubah dan
berjanggut, bernama Baba Ram Dass. Richard Raskind, seorang dokter ahli
penyakit mata yang sukses, masuk ke rumah sakit dan keluar sebagar Renee
Richards dan menjadi petenis wanita.
Tetapi di
pihak lain, studi-studi jangka panjang yang dilakukan sejak responden remaja
dan di ulangi beberapa kali sampai mereka masuk usia 40 atau 50-an membuktikan
bahwa memang terjadi konstansi (sesuatu yang menetap) pada kepribadian. Remaja
yang selalu menyalahkan diri sendiri menjadi orang dewasa yang juga menyalahkan
diri sendiri , sedangkan remaja yang gembira akan menjadi orang dewasa yang
gembira pula (studi-studi jangka panjang
ini dilakukan antara lain oleh : Jack Block di Berkeley pada 1930 –
1950, Paul T. Costa Jr, & Robert R. MC Crae di Balti more tahun 1960 –
1970, Gloria Leon dan Jeylan Mortimer, keduanya di Minnesota, masing-masing
pada 1947 – 1977 dan 1962 – 1976).
Yang menjadi
pertanyaan kita sekarang, kalau ada yang tetap dalam kepribadian orang yang
selalu berubah-ubah itu, apakah yang tetap itu? Menurut G.W Allport (Sarlito,2012)
dalam bukunya yang sudah di kutip di atas , yang tetap itulah yang dinamakan
trait, yaitu suatu sifat atau dalam istilah Allport sendiri diposition yang
menentukan bagaimana orang yang bersangkutan akan bertingkah laku. Sifat ini
akan selalu mewarnai tingkah laku orang yang bersangkutan terlepas dari situasi
yang di hadapi orang tersebut, sehingga trait juga di definisikan sebagai “the
reactive nature of an individual.
Demikianlah
orang yang “angkuh” misalnya, akan selalu tampak angkuh dalam situasi apapun.
S.R.Maddi (Sarlito,2012) pada 1980 mengajukan teknik untuk mempelajari trait
ini, yaitu dengan cara menghitung frekuensi dari tindakan tertentu selama kurun
waktu tertentu (Act frequency analysis). Kalau dalam waktu dua minggu,
misalnya, dilakukan observasi dan selama itu sering muncul tindakan angkuh atau
ramah, atau pemarah, maka sifat-sifat itulah yang merupakan trait.
Selanjutnya
dikatakan S.R Maddi (Sarlito,2012) bahwa
perbedaan antara trait (konstansi atau ketetapan yang disposisional) dengan
konstansi tingkah laku biasa (misalnya kebiasaan) adalah bahwa trait
menunjukkan pada tingkah laku dalam skala besar (molar) dan majemuk yang
menyangkut juga struktur kognitif. Sedangkan konsistensi tingkah laku hanya
menunjuk pada tingkah laku dalam skala kecil (molecular) dan tunggal, misalnya
kebiasaan bangun pagi, kebiasaan menulis dengan tangan kiri, atau
ketidakterampilan mengoperasikan computer. Hal-hal yang terakhir ini bukan
trait.
Yang sekarang
di anut para pakar tentang trait adalah apa yang di kenal dengan istilah The
Big Five. Dari penelitian terhadap jumlah besar anak kembar, Goldberg
(Sarlito,2012) melaporkan bahwa ada lima ciri perilaku yang sama dan sering di
tunjukkan oleh anak kembar yang disebut sebagai trait, yaitu :
1.
Openness (57%) atau keterbukaan, yaitu menghargai seni,
emosi, petualangan, ide-ide baru imajinasi, keingintahuan, dan pengalaman baru.
Lawan dari trait ini adalah ketertutupan, konservatif, apa adanya.
2.
Extraversion (54%) atau Ekstraversi, yaitu penuh energy,
emosi positif, serba darurat, cendrung mencari teman.
3.
Conscientiuosness (49%), atau Kesadaran diri, yaitu
disiplin diri, utamakan tugas dan kewajiban, hasrat prestasi yang tinggi, serba
terencana, serba terkendali, termasuk mampu mengendalikan dorongan-dorongannya
sendiri.
4.
Neuroticism (48%), atau Pencemas, yaitu cenderung kepada
emosi negative seperti marah, cemas, dan depresi, emosi labil, memandang semua
situasi sebagai ancaman dan masalah kecil di anggap sangat sulit.
5.
Agreeableness (42%) atau santai, yaitu kecenderungan
untuk senang dan bekerja sama dengan orang lain, jauh dari curiga dan
antagonis, menyukai harmoni sosial, gampang bergaul, pengertian, suka menolong,
ramah, murah hati, jujur, dan bisa dipercaya.
Namun, perlu
dicatat bahwa konsep tentang trait pernah ditentang beberapa pakar. Salah
satunya adalah Loehlin (dalam Sarlito,2012) yang meneliti sejumlah besar anak
kembar dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal neuroticism dan
extraversion antara anak-anak kembar dan bukan kembar. Walaupun begitu,
sejumalh peneliti lain memang mendukung adanya factor trait yang mempunyai
pengaruh terhadap perilaku, seperti misalnya trait akan muncul pada
situasi-situasi yang penuh tekanan atau ketika suatu tindakan bisa menimbulkan
konsekuensi yang sangat serius. Trait terkandung dalam kecerdasan emosi. Orang
dengan trait marah yang rendah dengan sendirinya akan menggunakan kognisinya
untuk mengontrol situasi dalam konteks yang mengandung permusuhan. Dan
studi-studi biometric pun membuktikan adanya kontribusi yang cukup besar dari
factor-faktor genetic terhadap dimensi-dimensi kepribadian yang utama.
Sementara itu, penelitian lain lagi mengambil jalan tengah, yaitu bahwa trait
memang ada, namun realisasinya dalam perilaku sangat dipengaruhi oleh factor
lingkungan, seperti budaya dan juga usia.
Khususnya pada diri remaja, proses perubahan
karena pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi, karena dalam
proses pematangan kepribadiannya, remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke
permukaan sifat-sifat (trait) nya yang sebenarnya, yang harus berbenturan
dengan rangsangan-rangsangan dari luar. Menurut Richmond & Skalansky (dalam
Sarlito,2012) inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja awal
dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan. Sedangkan menemukan kepribadian
yang khas dalam periode itu belum menjadi sasaran utama.
B.
Jenis-Jenis
Konsep Diri
Konsep diri
terbagi atas konsep diri yang negative dan konsep diri yang positif R.B.Burns,1993
(dalam inge hutagalung,2007). Karakteristik mengenai konsep diri yang negative
secara umum tercermin dari keadaan diri sebagai berikut:
1.
orang yang
memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai
berikut:
- Merasa mampu
mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk
mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.
- Merasa
setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan
membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari
proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan
individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.
- Menerima
pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak
diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah
dikerjakan sebelumnya.
- Merasa mampu
memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk
memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
2. Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang
negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
- Peka
terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain
sebagai proses refleksi diri.
- Bersikap
responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang
telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat
penghargaan.
- Cenderung
merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang
lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.
- Mempunyai
sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan
terhadap orang lain.
- Mengalami
hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu
dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.
C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen (dalam
Inge hutagalung,2007) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan,
Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self
Perception (persepsi diri sendiri), untuk lebih jelasnya mari kita baca lebih
lanjut tentang “Faktor yang mempengaruhi Konsep Diri” berikut ini:
1.
Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian
berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan
dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang
terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan
melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman
budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai
oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi
potensi yang nyata.
2.
Significant Other (orang yang
terpenting atau yang terdekat)
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan
pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain
yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang
lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja
dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat
atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
3.
Self Perception (persepsi diri
sendiri)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan
penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi
tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang
positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku
individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih
efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan
interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan
konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang
terganggu.
Pas sekali, sangat bagus makasih infonya.... yuk mari > universitas psikologi langsung aja....
BalasHapusMampir ya: Konsep Diri yang Baik dalam Psikologi
How to play the blue titanium slots game for real money - Tetra
BalasHapusHow to play the blue titanium slots game for titanium septum jewelry real titanium nipple bars money. You will soon learn titanium ion color how to play the blue titanium flask titanium titanium sheet metal slots game on our website and
YOURURL.com cheap sex toys,dog dildo,realistic sex dolls,japanese sex dolls,vibrators,male sex dolls,cheap sex toys,dog dildo,male sex dolls More Help
BalasHapusp761h1kswsr566 sex chair,penis pumps,Discreet Vibrators,wholesale sex toys,Rabbit Vibrators,Bullets And Eggs,sex toys,dog dildos,sex chair k201u8ctljq325
BalasHapus