Senin, 17 Desember 2012

Pembentukan Konsep Diri


A.     Pembentukan Konsep Diri
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Namun, apakah kedewasaan itu? Secara psikologis, kedewasaan tentu bukan hanya tercapainya usia tertentu misalnya dalam ilmu hukum. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang. Cirri-ciri psikologis itu menurut G.W Allport (Sarlito,2012) adalah :
1.      Pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan keampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. Kemampuan untuk menenggang rasa dengan orang yang di cintainya, untuk ikut merasakan penderitaan yang di alami oleh orang yang di cintainya. Itu menunjukkan adanya tanda-tanda kepribadian yang dewasa (mature personality). Di samping itu juga adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita, idola dan sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
2.      Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Ia tidak marah JIka di kritik dan di saat-saat yang diperlukan ia bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
3.      Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life). Hal ini dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya dalam kata-kata. Orang yang sudah dewasa tahu dengan tempatnya dalam kerangka susunan objek-objek lain dan manusia-manusia lain didunia. Ia tahu kedudukannya dalam masyarakat, ia paham bagaimana seharusnya ia bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan ia berusaha mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang ia tetapkan sendiri. Orang seperti ini tidak lagi mudah terpengaruh dan pendapat-pendapat serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.

Ciri-ciri yang di sebutkan Allport tersebut biasanya dimulai sejak secara fisik tumbuh tanda-tanda seksual sekunder. Ia mulai jatuh cinta, mulai punya idola, dan seterusnya. Akan tetapi kapan berakhirnya? Apakah benar anggapan sementara orang bahwa setelah usia 20 tahun manusia tidak berubah lagi kepribadiannya? Kepribadiannya akan mengeras seperti semen dan karenanya patut di beri hak penuh pada usia 21 tahun seperti dalam hukum perdata?
Pendapat semacam ini sekarang  sudah mendapat tantangan dari beberapa sosiologi seperti O.G Brim dan psikolog seperti Jerome Kagan (Sarlito,2012). Terry Rubin, misalnya yang pada 1970-an adalah seorang Yippie, sepuluh tahun kemudian menjadi analis di Wall-Street dengan jas dan dasi. Richard Appert, asisten professor psikologi di Harvard, terlibat narkotika, pergi ke India dan kembali sebagai guru mistik berjubah dan berjanggut, bernama Baba Ram Dass. Richard Raskind, seorang dokter ahli penyakit mata yang sukses, masuk ke rumah sakit dan keluar sebagar Renee Richards dan menjadi petenis wanita.
Tetapi di pihak lain, studi-studi jangka panjang yang dilakukan sejak responden remaja dan di ulangi beberapa kali sampai mereka masuk usia 40 atau 50-an membuktikan bahwa memang terjadi konstansi (sesuatu yang menetap) pada kepribadian. Remaja yang selalu menyalahkan diri sendiri menjadi orang dewasa yang juga menyalahkan diri sendiri , sedangkan remaja yang gembira akan menjadi orang dewasa yang gembira pula (studi-studi jangka panjang  ini dilakukan antara lain oleh : Jack Block di Berkeley pada 1930 – 1950, Paul T. Costa Jr, & Robert R. MC Crae di Balti more tahun 1960 – 1970, Gloria Leon dan Jeylan Mortimer, keduanya di Minnesota, masing-masing pada 1947 – 1977 dan 1962 – 1976).
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang, kalau ada yang tetap dalam kepribadian orang yang selalu berubah-ubah itu, apakah yang tetap itu? Menurut G.W Allport (Sarlito,2012) dalam bukunya yang sudah di kutip di atas , yang tetap itulah yang dinamakan trait, yaitu suatu sifat atau dalam istilah Allport sendiri diposition yang menentukan bagaimana orang yang bersangkutan akan bertingkah laku. Sifat ini akan selalu mewarnai tingkah laku orang yang bersangkutan terlepas dari situasi yang di hadapi orang tersebut, sehingga trait juga di definisikan sebagai “the reactive nature of an individual.
Demikianlah orang yang “angkuh” misalnya, akan selalu tampak angkuh dalam situasi apapun. S.R.Maddi (Sarlito,2012) pada 1980 mengajukan teknik untuk mempelajari trait ini, yaitu dengan cara menghitung frekuensi dari tindakan tertentu selama kurun waktu tertentu (Act frequency analysis). Kalau dalam waktu dua minggu, misalnya, dilakukan observasi dan selama itu sering muncul tindakan angkuh atau ramah, atau pemarah, maka sifat-sifat itulah yang merupakan trait.
Selanjutnya dikatakan S.R  Maddi (Sarlito,2012) bahwa perbedaan antara trait (konstansi atau ketetapan yang disposisional) dengan konstansi tingkah laku biasa (misalnya kebiasaan) adalah bahwa trait menunjukkan pada tingkah laku dalam skala besar (molar) dan majemuk yang menyangkut juga struktur kognitif. Sedangkan konsistensi tingkah laku hanya menunjuk pada tingkah laku dalam skala kecil (molecular) dan tunggal, misalnya kebiasaan bangun pagi, kebiasaan menulis dengan tangan kiri, atau ketidakterampilan mengoperasikan computer. Hal-hal yang terakhir ini bukan trait.
Yang sekarang di anut para pakar tentang trait adalah apa yang di kenal dengan istilah The Big Five. Dari penelitian terhadap jumlah besar anak kembar, Goldberg (Sarlito,2012) melaporkan bahwa ada lima ciri perilaku yang sama dan sering di tunjukkan oleh anak kembar yang disebut sebagai trait, yaitu :
1.      Openness (57%) atau keterbukaan, yaitu menghargai seni, emosi, petualangan, ide-ide baru imajinasi, keingintahuan, dan pengalaman baru. Lawan dari trait ini adalah ketertutupan, konservatif, apa adanya.
2.      Extraversion (54%) atau Ekstraversi, yaitu penuh energy, emosi positif, serba darurat, cendrung mencari teman.
3.      Conscientiuosness (49%), atau Kesadaran diri, yaitu disiplin diri, utamakan tugas dan kewajiban, hasrat prestasi yang tinggi, serba terencana, serba terkendali, termasuk mampu mengendalikan dorongan-dorongannya sendiri.
4.      Neuroticism (48%), atau Pencemas, yaitu cenderung kepada emosi negative seperti marah, cemas, dan depresi, emosi labil, memandang semua situasi sebagai ancaman dan masalah kecil di anggap sangat sulit.
5.      Agreeableness (42%) atau santai, yaitu kecenderungan untuk senang dan bekerja sama dengan orang lain, jauh dari curiga dan antagonis, menyukai harmoni sosial, gampang bergaul, pengertian, suka menolong, ramah, murah hati, jujur, dan bisa dipercaya.

Namun, perlu dicatat bahwa konsep tentang trait pernah ditentang beberapa pakar. Salah satunya adalah Loehlin (dalam Sarlito,2012) yang meneliti sejumlah besar anak kembar dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal neuroticism dan extraversion antara anak-anak kembar dan bukan kembar. Walaupun begitu, sejumalh peneliti lain memang mendukung adanya factor trait yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku, seperti misalnya trait akan muncul pada situasi-situasi yang penuh tekanan atau ketika suatu tindakan bisa menimbulkan konsekuensi yang sangat serius. Trait terkandung dalam kecerdasan emosi. Orang dengan trait marah yang rendah dengan sendirinya akan menggunakan kognisinya untuk mengontrol situasi dalam konteks yang mengandung permusuhan. Dan studi-studi biometric pun membuktikan adanya kontribusi yang cukup besar dari factor-faktor genetic terhadap dimensi-dimensi kepribadian yang utama. Sementara itu, penelitian lain lagi mengambil jalan tengah, yaitu bahwa trait memang ada, namun realisasinya dalam perilaku sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan, seperti budaya dan juga usia.
Khususnya pada diri remaja, proses perubahan karena pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi, karena dalam proses pematangan kepribadiannya, remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke permukaan sifat-sifat (trait) nya yang sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan-rangsangan dari luar. Menurut Richmond & Skalansky (dalam Sarlito,2012) inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan. Sedangkan menemukan kepribadian yang khas dalam periode itu belum menjadi sasaran utama.

B.      Jenis-Jenis Konsep Diri
Konsep diri terbagi atas konsep diri yang negative dan konsep diri yang positif R.B.Burns,1993 (dalam inge hutagalung,2007). Karakteristik mengenai konsep diri yang negative secara umum tercermin dari keadaan diri sebagai berikut:
1.      orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  • Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.
  • Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.
  • Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
  • Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
2.      Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  • Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.
  • Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan.
  • Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.
  • Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.
  •  Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

C.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen (dalam Inge hutagalung,2007) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri), untuk lebih jelasnya mari kita baca lebih lanjut tentang “Faktor yang mempengaruhi Konsep Diri” berikut ini:
1.      Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.
2.      Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat)
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
3.      Self Perception (persepsi diri sendiri)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.

4 komentar: