Senin, 17 Desember 2012

KONSELING ANAK


KONSELING ANAK
Konseling anak adalah proses yang terjadi antara anak dan seorang konselor yang membantu anak-anak untuk memahami apa yang telah terjadi kepada mereka. Tujuannya adalah untuk membantu anak-anak untuk sembuh dan kembali rasa percaya dirinya. Selama konseling, seorang anak didorong untuk dapat menyatakan perasaan mereka. Pemikiran dan perasaan yang tetap dan tak terungkapkan cenderung menjadi semakin akut dan dapat menimbulkan masalah jangka panjang (www.secasa.com.au).
Konseling anak menawarkan tempat yang aman untuk berbicara tentang hal-hal yang sulit. Anak-anak sering merasa sulit untuk berbicara dengan pada orang dewasa yang peduli mereka, padahal anak ingin dilindungi oleh orang dewasa. Mereka merasa sudah cukup dianggap bertanggung jawab untuk dewasa dari setiap hal yang dilakukannya. Konseling menawarkan kesempatan untuk melakukan kepercayaan internal dan perasaan eksternal dan karena itu lebih dapat diatur. Konseling dapat memberikan pengertian pada anak-anak bahwa hubungan itu adalah sangat berharga. Dalam konseling, mereka memiliki beberapa kekuasaan dan dapat membuat pilihan atas apa yang ia lakukan. Konseling anak juga dapat memberikan anak suatu hubungan dengan orang dewasa di mana mereka lebih dapat dipercaya.

Pengertian Bimbingan dan Konseling
Istilah bimbingan menurut Shertzer dan Stone (dalam Winkel, 1997: 1) diartikan sebagai proses membantu orang-perorangan untuk memahami diri dan lingkungan hidupnya.

Bimbingan ialah penolong individu agar dapat mengenal dirinya dan supaya individu itu dapat mengenal serta dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya (Oemar Hamalik, 2000:193)
Bimbingan membantu setiap individu untuk lebih mangenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri.(Ciscolm, dalam Mc.Daniel, 1950)
Bimbingan sebagai proses layanan yang diberikan kepada individu guna membantu mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membuat pilihan-pilihan. Rencana-rencana, dan interpretasi yang diperlukan untuk menyesuaikan diri yang baik.(Smith, dalam Mc. Daniel, 1959)
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh tenaga ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan diri sendiri dan mandiri dalam memanfaatkan kekuatan yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma yang berlaku..

Konseling adalah proses pemberian yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien (Prayitno, 1997:106).
Konseling merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada seseorang supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk dimanfaatkan olehnya dan memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang (Mungin Eddy Wibowo, 1986:39).
Dari pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bawa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seeorang ahli kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien tersebut.
Tujuan bimbingan dan konseling ialah agar konseli dapat:
1.    Merencanakan kehidupannya di masa mendatang;
2.    Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin;
3.    Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, masyarakat serta lingkungan kerjanya;
4.    Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat maupun lingkungan kerja.
Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar
            Sekolah Dasar bertanggung jawab memberikan pengalaman-pengalaman dasar kepada anak,yaitu kemampuan dan kecakapan membaca,menulis dan berhitung,pengetahuan umum serta perkembangan kepribadian,yaitu sikap terbuka terhadap orang lain,penuh inisiatif,kreatifitas,dan kepemimpinan,ketrampilan serta sikap bertanggung jawab guru sekolah dasar memegang peranan dan memikul tanggung jawab untuk memahami anak dan membantu perkembangan social pribadi anak.

1. Tindakan preventif di Sekolah Dasar.
    Tuntutan untuk mengadakan identifikasi secara awal diakui kebenarannya oleh para  ahli bimbingan karena:
-       Kepribadian anak masih luwes, belum menemukan banyak masalh hidup,mudah terbentuk dan masih akan banyak mengalami perkembangan
-       Orang tua murid sering berhubungan dengan guru dan mudah dibentuk hubungan tersebut,orang tua juga aktif pendidikan anaknya disekolah.
-       Masa depan anak masih terbuka sehingga dapat belajar mengenali diri sendiri dan dapat menghadapi suatu masalah dikemudian hari.
Bimbingan tidak hanya pada anak yang bermasalah melainkan pandangan bimbingan dewasa ini yaitu menyediakan suasana atau situasi perkembangan yang baik,sehingga setiap anak di sekolah dapat terdorong semangat blejarnya dan dapat mengembangkan pribadinya sebik mungkin dan terhindar dari praktik-praktik yang merusak perkembangan anak itu sendiri.


2. Kesiapan di Sekolah Dasar
            Konsep psikologi belajar mengenai kesiapan belajar menunjukan bahwa hambatan pendidikan dapat timbul jika kurikulum diberikan kepada anak terlalu cepat/terlalu lambat,untuk menghadapi perubahan dan perkembangan pendidikan yang terus menerus perlu adanya penyuluhan untuk menumbahkan motivasi dan menciptakan situasi balajar dengan baik sehingga diperoleh kreatifitas dan kepemimpinan yang positif pada aktrifitas melalui penyuluhan kepada orang tua dan murid.

Di Sekolah Dasar, pelaksanaan program bimbingan berkaitan dengan enam aspek yang idealnya dapat terpenuhi yaitu:
1.    Sebagai penjabaran dari tujuan pendidikan nasional bahwa pendidikan dasar memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah.
2.    Kebutuhan pada anak sekolah, yaitu kebutuhan mendapatkan kasih sayang dan perhatian, menerima pengakuan terhadap dorongan untuk memajukan perkembangan kognitifnya serta memperoleh pengakuan dan teman sebaya. Tugas-tugas perkembangan yang dihadapi oleh siswa adalah, antara lain mengatur beraneka kegiatan belajarnya dengan bersikap tanggungjawab, bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima oleh keluarga dan teman-teman sebayanya, cepat mengembangkan bekal kemampuan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung, mengembangkan kesadaran moral berdasarkan nilai-nilai kehidupan dengan membentuk kata hati.
3.    Pola dasar bimbingan yang dipegang adalah pola generalis.
4.    Komponen bimbingan yang diprioritaskan ialah pengumpulan data, pemberian informasi dan konsultasi. Pemberian informasi meliputi perkenalan dengan sejumlah bidang pekerjaan yang relevan unuk siswa-siswi di daerah tertentu, pengetahuan tentang cara bergaul yang baik dan beberapa patokan dasar untuk menjaga kesehatan mental. Konsultasi diberikan oleh guru kelas kepada orangtua siswa dan oleh tenaga bimbingan profesional kepada guru-guru yang membutuhkan.
5.    Bentuk bimbingan yang kerap digunakan ialah bimbingan kelompok. Sifat bimbingan yang mencolok ialah sifat perseveratif dan preventif sehingga siswa dapat memiliki taraf kesehatan mental yang wajar. Sifat korektif akan muncul apabila terjadi kasus penyimpangan dari laju perkembangan normal yang biasanya berkaitan erat dengan situasi keluarga.
6.    Tenaga yang memegang peranan kunci bimbingan di Sekolah Dasar saat ini adalah guru kelas, yang mengumpulkan data tentang siswa dan menyisipkan banyak materi informasi dalam pengajaran. Koordinasi seluruh kegiatan bimbingan dapat dipegang oleh Kepala Sekolah. Namun lebih baik kalau diangkat seorang tenaga bimbingan profesional yang bertugas sebagai koordinator. Koordinator ini adalah seorang tenaga generalis, dalam arti memberikan beberapa layanan bimbingan, baik yang dilakukan sendiri maupun direncanakan untuk diselenggarakan oleh guru-guru kelas. Tenaga bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar biasanya bukan anggota staf di sekolah melainkan tenaga bimbingan profesional yang datang ke sekolah-sekolah secara bergilir di wilayah tertentu untuk menagani kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh staf sekolah.
Namun pada saat ini pelayanan bimbingan kepada siswa di Sekolah Dasar di Indonesia masih dalam taraf perkembangan. Dengan kata lain, sampai sekarang ini, di jenjang Sekolah Dasar, tidak ada layanan bimbingan yang diberikan secara khusus. Namun semua itu kembali kepada kebijakan sekolah dan juga kesadaran pihak sekolah akan pengetahuan dan informasi pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Bimbingan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar yang layaknya dilakukan oleh seorang guru terhadapmuridnya,sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan layanan ahli dalam konteks memandirikan siswa.
Merujuk pada UU No. 20/203 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dimantapkan sebagai Konselor. Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi gur, dosen, pamong belajar, tutor, widyaswara, fasilitator, dan instruktur.
Dalam konteks tersebut, layanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh guru pembimbing sangat diperlukan mengingat banyaknya masalah siswa di sekolah dan besarnya kebutuhan siswa untuk diarahkan dalam memilih dan mengambil keputusan.
Prinsip-prinsip Bimbingan Konseling di SD
Berikut ini prinsip-prinsip bimbingan konseling yang diramu dari sejumlah sumber, sebagai berikut:
a.    Sikap dan tingkah laku seseorang sebagai pencerminan dari segala kejiwaannya adakah unik dan khas. Keunikan ini memberikan ciri atau merupakan aspek kepribadian seseorang. Prinsip bimbingan adalah memperhatikan keunikan, sikap dan tingkah laku seseorang, dalam memberikan layanan perlu menggunakan cara-cara yang sesuai atau tepat.
b.    Tiap individu mempunyai perbedaan serta mempunyai berbagai kebutuhan. Oleh karenanya dalam memberikan bimbingan agar dapat efektif perlu memilih teknik-teknik yang sesuai dengan perbedaan dan berbagai kebutuhan individu.
c.    Bimbingan pada prinsipnya diarahkan pada suatu bantuan yang pada akhirnya orang yang dibantu mampu menghadapi dan mengatasi kesulitannya sendiri.
d.    Dalam suatu proses bimbingan orang yang dibimbing harus aktif , mempunyai bayak inisiatif. Sehingga proses bimbingan pada prinsipnya berpusat pada orang yang dibimbing.
e.    Prinsip referal atau pelimpahan dalam bimbingan perlu dilakukan. Ini terjadi apabila ternyata masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan oleh sekolah (petugas bimbingan). Untuk menangani masalah tersebut perlu diserahkan kepada petugas atau lembaga lain yang lebih ahli.
f.     Pada tahap awal dalam bimbingan pada prinsipnya dimulai dengan kegiatan identifikasi kebutuhan dan kesulitan-kesulitan yang dialami individu yang dibimbing.
g.    Proses bimbingan pada prinsipnya dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan yang dibimbing serta kondisi lingkungan masyarakatnya.
h.    Program bimbingan dan konseling di sekolah harus sejalan dengan program pendidikan pada sekolah yang bersangkutan. Hal ini merupakan keharusan karena usaha bimbingan mempunyai peran untuk memperlancar jalannya proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan.
i.      Dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaklah dipimpin oleh seorang petugas yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidang bimbingan. Di samping itu ia mempunyai kesanggupan bekerja sama dengan petugas-petugas lain yang terlibat.
j.      Program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya senantiasa diadakan penilaian secara teratur. Maksud penilaian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan program bimbingan.

Prinsip ini sebagai tahap evaluasi dalam layanan bimbingan konseling nampaknya masih sering dilupakan. Padahal sebenarnya tahap evaluasi sangat penting artinya, di samping untuk menilai tingkat keberhasilan juga untuk menyempurnakan program dan pelaksanaan bimbingan dan konseling (Prayitno, 1997:219).

Dalam konteks pemberian layanan bimbingan konseling, Prayitno (1997:35-36) mengatakan bahwa pemberian layanan bimbingan konseling meliputi layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, dan konseling kelompok.

Layanan –layanan yang dapat diberikan seorang guru pembimbing pada anak tingkat sekolah dasar antara lain:
1.    Layanan orientasi
Layanan ini menyangkut perkenalan terhadap lingkungan sekolah berupa sistem pendidikan dsb. Namun, untuk anak Sekolah Dasar, orientasi tersebut dilakukan terhadap orang tua, sehingga seorang guru pembimbing dapat mengetaui lebih detail tentang siswa dai orang tua/wali muris yang bersangkutan dengan baik.,
2.    Layanan informasi
Pemberian informasi dilakukan guru pembimbing dengan memanggil orang tua siswa atau waliny, dan memberikan informasi-informasi yang terkait dengan perkembangan anak didiknya.
3.    Layanan penempatan dan penyaluran
Layanan ini diberikan pada anak Sekolah Dasar yang akan mangakhiri sekolah mereka yaitu anak kelas VI SD. Hal ini diperlukan untuk memberikan pengarahan terhadap siswa untuk melanjutkan studi mereka pada jejang ang lebih tinggi.
4.    Layanan bimbingan belajar
Layanan ini digunakan untuk membantu siswa yang mengalami masalah kesulitan belajar. Seorang guru pembimbing akan mengusulkan atau memberi saran terhadap siswa tersebut untuk membentuk suatu kelombok belajar agar dapat membantu penyelesaian masalah kesulitan belajar tersebut.
Selain itu, guru kelas juga dapat berkonsultasi pada guru pembimbing agar proses pendidikan dapat berjalan dengan lebih baik.

Pengertian Intelektual



A.   Pengertian Intelektual
      Masyarakat umum mengenal intelektual sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun untuk memecahkan problem yang dihadapi (Azwar, 1996). Gambaran tentang mahasiswa yang berintelektual tinggi adalah lukisan mengenai mahasiswa pintar, selalu naik tingkat, meperoleh nilai baik, atau mahasiswa yang jempolan di kelasnya atau bintang kelas. Bahkan gambaran ini meluas pada citra fisik, yaitu sosok mahasiswa yang wajahnya bersih/berseri, berpakaian rapi, matanya bersinar atau berkacamata. Sebaliknya, mahasiswa yang berintelektual rendah memiliki sosok seseorang yang lambat berfikir, sulit memahami pelajaran prestasi belajar rendah, dan mulutnya lebih banyak menganga disertai tatapan mata kebingungan. Pendapat orang awam, seperti dipaparkan ini meskipun tidak memberikan arti yang jelas tentang intelektual, namun secara umum tidak jauh berbeda dari makna intelektual yang dikemukakan oleh para ahli.
      Banyak rumusan yang dikemukakan ahli tentang definisi intelektual. Masing-masing ahli member tekanan yang berbeda-beda sesuai dengan titik pandang untuk lebih memahami intelektual yang sesungguhnya. Berikut dikemukakan defenisi dari beberapa ahli tersebut sebagai berikut.
1.    Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan sesorang untuk meperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya dengan lingkungan dan maslah-masalah yang timbul (Gunarsa, 1991).
2.    Adrew Crider (dalam azwar, 1996) mengatakan bahwa intelektual itu bagaikan listrik, mudah diukur tapi mustahil untuk didefenisikan. Kalimat ini banyak benarnya. Tes intelegensi sudah dibuat sejak sekitar delapan decade yang lalu, akan tetapi sejauh ini belum ada defenisi intelektua yang dapat diterima secara universal.
3.    Alfred Binet (dalam irfan, 1986) mengemukakan bahwa intelegensi adalah suatu kapasitas intelektual umum yang antara lain mencakup kemampuan-kemampuan:
a.    Menalar dan menilai
b.    Menyeluruh
c.    Mencipta dan merumuskan arah berfikir spesifik
d.    Menyesuaikan fikiran pada pencapaian hasil akhir
e.    Memiliki kemampuan mengeritik diri sendiri
4.    Menurut spearman (dalam irfan, 1986; mangkunegara, 1993) aktifitas mental atau tingkah laku individu dipengaruhi oleh dua factor, yaitu factor umum dan factor khusus dengan kemampuan menalar secara abstrak.
5.    David Wechsler (dalam Azwar, 1996) mendefenisikan intelektual sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif.

B.   Perkembangan Intelektual Pada Masa Remaja
      Pada periode remaja intelegensi berkembang semakin berkualitas dengan bertambahnya kemampuan remaja untuk menganalisis dan memikirkan hal-hal yang abstrak, akibatnya remaja makin kritis dan dapat berfikir dengan baik. Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh teori-teori dan ide sehingga menimbulkan sifat kritis terhadap lingkungannya. Pendapat orang tua sering membandingkan-bandingkan dengan teori yang dinternalisasi remaja. Akibatnya, sering terjadi pertentangan antara sikap kritis remaja dan aturan-aturan, adat-istiadat, kebebasan, dan norma-norma yang berlaku dilingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
      Sebagai akibat remaja telah mampu berfikir secra abstrak dan hipotesis, maka pola piker remaja menunjukan kekhususan sebagai berikut.
a.    Timbul kesadaran berfikir tentang berbagai kemumngkinan tentang dirinya.
b.    Mulai memikirkan bayangan tentang dirinya pada masa yang akan datang.
c.    Mampun memahami norma dan nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya.
d.    Bersifat kritis terhadap berbagai masalah yang akan dihadapi.
e.    Mampu menggunakan teori-teori dan ilmu pengetahuan yang dimiliki
f.     Dapat mengasimilasikan fakta-fakta baru dan fakta-fakta lama.
g.    Dapat membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting.
h.    Mampu mengambil manfaat dari pengalaman.
i.      Makin berkembangnya rasa toleransi terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengannya.
j.      pendapat dengannya.
k.    Mulai mampu berfikir tentang masalah yang tidak konkret, seperti pemilihan pekerjaan, kelanjutan studi, dan perkawinan.
l.      Milai memiliki pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
Taraf kecerdasan masing-masing individu tidak sama, ada yang rendah, sedang, dan ada yang tergolong tinggi. Perbedaan itu sudah ada sejak lahir, namun perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

C.   Faktor-Faktor Yang Mepengaruhi Perkembangan Intelektual
Banyak yang secara langsung maupun tidak langsung mepengaruhi perkembangan intelektual. Menurut Ngalim Purwanto (1986) faktor-faktor yang mepengaruhi perkembangan intelektual antara lain.
1.    Factor pembawaan (genetik)
      Banyak teori dan hasil penelitian menyatakan bahwa kapasitas intelektual dipengaruhi oleh gen orang tua. Dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa genetik ayah cendrung dominan mepengaruhi tingkat kecerdasan anaknya. Teori konvergensi mengemukakan bahwa anak yang telah lahir telah mempunyai potensi bawaan, tetapi potensi tersebut tidak dari lingkungan. Intelektual mengandung potensi bawaan, tetapi untuk dapat berfungsi dan berkembang seoptimal mungkin sebagai mana mestinya perlu mendapatkan pendidikan dan latihan dari lingkungan.
2.    Faktor gizi
Perkembangan intelektual baik dari segi kualitas maupun kuantitas tidak terlepas dari pengaruh factor gizi. Kuat atau lemahnya fungsi intelegensi juga ditentukan oleh gizi yang memberikan energi/tenaga bagi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kebutuhan akan makanan bernilai gizi tinggi (gizi berimbang) terutama yang besar pengaruhnya pada perkembangan intelegensiialah pada masa prenatal (anak dalam kandungan) hingga usia balita, sedangkan usia di atas lima tahun pengaruhnya tidak signifikan lagi.
3.    Factor kematangan
      Perkembangan fungsi intelegensi dipengaruhi oleh kematangan organ intelegensi itu sendiri. Menurut piaget (dalam mudjiran, 2007) seorang psikologi dari swiss membuat empat pentahapan kematangan dalam perkembangan intelegensi. Tahap pertama disebut periode sensorik motorik (0-2 tahun), tahap kedua disebut periode preoperasional (2-7 tahun), tahap ketiga disebut periode operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap ke empat disebut periode operasional formal (11-16 tahun).
      Pendapat Piaget (dalam mudjiran, 2007) membuktikan bahwa semakin bertambah usia seseorang, intelegensinya makin berfungsi dengan sempurna. Ini berarti factor kematangan mempengaruhi struktur intelegensi, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan kualitatif dari fungsi intelegensi. Perkembangan intelegensi semakin meningkat usia ke arah dewasa bahkan semakin tua, orang semakin cermat menganalisis suatu persoalan karena didukung oleh pengalaman-pengalaman hidupnya.
4.    Factor Pembentukan
Pendidkan dan latihan yang bersifat kognitif dapat memberikan sumbangan terhadap fungsi intelegensi seseorang. Misalnya, orang tua yang menyediakan fasilitas sarana seperti bahan bacaan majalah anak-anak dan sarana bermain yang memadai. Semua ini dapat membentuk anak dengan meningkatkan fungsi dan kualitas pikirannya. Situasi ini akan meningkatkan perkembangan intelegensi anak disbanding anak seusianya.
5.    Kebebasan Psikologis
Perlu dikembangkan kebebasan psikologis pada anak agar intelegensinya berkembang dengan baik. Orang tua atau orang dewasa lainnya yang suka mengatur, mendikte, membatasi anak untuk berpikir dan melakukan sesuatu, membuat kecerdasan anak tidak berfungsi dan tidak berkembang dengan baik, terutama aspek kreativitasnya. Sebaliknya, anak yang memiliki kebesan untuk berpendapat, tanpa disertai perasaan takut atau cemas, dapat merangsang berkembangnya kreativitas dan pola pikir. Mereka bebas memilih cara (metode) tertentu dalam memecahkan persoalan. Hal ini mempunyai sumbangan yang berarti dalam perkembangan intelegensi.
Mappiare (dalam mudjiran, 2007), mengemukakan tiga factor yang dapat mempengaruhi perkembangan intelegensi remaja yaitu berikut ini :
1.    Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang sehingga ia berpikir selektif
2.    Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berfikir proporsional.
3.    Adanya kebebasan berpikir menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis yang radikal dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.

Perkembangan Moral Remaja


Perkembangan Moral Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
     1. Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
     2. Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
       1). Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
       2). Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
       3). Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
       4). Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
       5). Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.

Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1).   Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
       2).   Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3).   Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral adalah salah satu topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatan-perbuatannya.




font-size: 12pt; line-height: 150%;">B.   Perkembangan Keagamaan Remaja.
Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia.
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard dan Boll, 1943).
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan cirri-ciri pokoknya saja.
James Fowler (1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1). Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a) Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2).     Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
     a) Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
     b)  Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
     c)  Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.

Pembentukan Konsep Diri


A.     Pembentukan Konsep Diri
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Namun, apakah kedewasaan itu? Secara psikologis, kedewasaan tentu bukan hanya tercapainya usia tertentu misalnya dalam ilmu hukum. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seseorang. Cirri-ciri psikologis itu menurut G.W Allport (Sarlito,2012) adalah :
1.      Pemekaran diri sendiri (extension of the self), yang ditandai dengan keampuan seseorang untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya sendiri juga. Perasaan egoisme (mementingkan diri sendiri) berkurang, sebaliknya tumbuh perasaan ikut memiliki. Salah satu tanda yang khas adalah tumbuhnya kemampuan untuk mencintai orang lain dan alam sekitarnya. Kemampuan untuk menenggang rasa dengan orang yang di cintainya, untuk ikut merasakan penderitaan yang di alami oleh orang yang di cintainya. Itu menunjukkan adanya tanda-tanda kepribadian yang dewasa (mature personality). Di samping itu juga adalah berkembangnya ego ideal berupa cita-cita, idola dan sebagainya yang menggambarkan bagaimana wujud ego (diri sendiri) di masa depan.
2.      Kemampuan untuk melihat diri sendiri secara objektif (self objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan tentang diri sendiri (self insight) dan kemampuan untuk menangkap humor (sense of humor) termasuk yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Ia tidak marah JIka di kritik dan di saat-saat yang diperlukan ia bisa melepaskan diri dari dirinya sendiri dan meninjau dirinya sendiri sebagai orang luar.
3.      Memiliki falsafah hidup tertentu (unifying philosophy of life). Hal ini dapat dilakukan tanpa perlu merumuskannya dan mengucapkannya dalam kata-kata. Orang yang sudah dewasa tahu dengan tempatnya dalam kerangka susunan objek-objek lain dan manusia-manusia lain didunia. Ia tahu kedudukannya dalam masyarakat, ia paham bagaimana seharusnya ia bertingkah laku dalam kedudukan tersebut dan ia berusaha mencari jalannya sendiri menuju sasaran yang ia tetapkan sendiri. Orang seperti ini tidak lagi mudah terpengaruh dan pendapat-pendapat serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.

Ciri-ciri yang di sebutkan Allport tersebut biasanya dimulai sejak secara fisik tumbuh tanda-tanda seksual sekunder. Ia mulai jatuh cinta, mulai punya idola, dan seterusnya. Akan tetapi kapan berakhirnya? Apakah benar anggapan sementara orang bahwa setelah usia 20 tahun manusia tidak berubah lagi kepribadiannya? Kepribadiannya akan mengeras seperti semen dan karenanya patut di beri hak penuh pada usia 21 tahun seperti dalam hukum perdata?
Pendapat semacam ini sekarang  sudah mendapat tantangan dari beberapa sosiologi seperti O.G Brim dan psikolog seperti Jerome Kagan (Sarlito,2012). Terry Rubin, misalnya yang pada 1970-an adalah seorang Yippie, sepuluh tahun kemudian menjadi analis di Wall-Street dengan jas dan dasi. Richard Appert, asisten professor psikologi di Harvard, terlibat narkotika, pergi ke India dan kembali sebagai guru mistik berjubah dan berjanggut, bernama Baba Ram Dass. Richard Raskind, seorang dokter ahli penyakit mata yang sukses, masuk ke rumah sakit dan keluar sebagar Renee Richards dan menjadi petenis wanita.
Tetapi di pihak lain, studi-studi jangka panjang yang dilakukan sejak responden remaja dan di ulangi beberapa kali sampai mereka masuk usia 40 atau 50-an membuktikan bahwa memang terjadi konstansi (sesuatu yang menetap) pada kepribadian. Remaja yang selalu menyalahkan diri sendiri menjadi orang dewasa yang juga menyalahkan diri sendiri , sedangkan remaja yang gembira akan menjadi orang dewasa yang gembira pula (studi-studi jangka panjang  ini dilakukan antara lain oleh : Jack Block di Berkeley pada 1930 – 1950, Paul T. Costa Jr, & Robert R. MC Crae di Balti more tahun 1960 – 1970, Gloria Leon dan Jeylan Mortimer, keduanya di Minnesota, masing-masing pada 1947 – 1977 dan 1962 – 1976).
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang, kalau ada yang tetap dalam kepribadian orang yang selalu berubah-ubah itu, apakah yang tetap itu? Menurut G.W Allport (Sarlito,2012) dalam bukunya yang sudah di kutip di atas , yang tetap itulah yang dinamakan trait, yaitu suatu sifat atau dalam istilah Allport sendiri diposition yang menentukan bagaimana orang yang bersangkutan akan bertingkah laku. Sifat ini akan selalu mewarnai tingkah laku orang yang bersangkutan terlepas dari situasi yang di hadapi orang tersebut, sehingga trait juga di definisikan sebagai “the reactive nature of an individual.
Demikianlah orang yang “angkuh” misalnya, akan selalu tampak angkuh dalam situasi apapun. S.R.Maddi (Sarlito,2012) pada 1980 mengajukan teknik untuk mempelajari trait ini, yaitu dengan cara menghitung frekuensi dari tindakan tertentu selama kurun waktu tertentu (Act frequency analysis). Kalau dalam waktu dua minggu, misalnya, dilakukan observasi dan selama itu sering muncul tindakan angkuh atau ramah, atau pemarah, maka sifat-sifat itulah yang merupakan trait.
Selanjutnya dikatakan S.R  Maddi (Sarlito,2012) bahwa perbedaan antara trait (konstansi atau ketetapan yang disposisional) dengan konstansi tingkah laku biasa (misalnya kebiasaan) adalah bahwa trait menunjukkan pada tingkah laku dalam skala besar (molar) dan majemuk yang menyangkut juga struktur kognitif. Sedangkan konsistensi tingkah laku hanya menunjuk pada tingkah laku dalam skala kecil (molecular) dan tunggal, misalnya kebiasaan bangun pagi, kebiasaan menulis dengan tangan kiri, atau ketidakterampilan mengoperasikan computer. Hal-hal yang terakhir ini bukan trait.
Yang sekarang di anut para pakar tentang trait adalah apa yang di kenal dengan istilah The Big Five. Dari penelitian terhadap jumlah besar anak kembar, Goldberg (Sarlito,2012) melaporkan bahwa ada lima ciri perilaku yang sama dan sering di tunjukkan oleh anak kembar yang disebut sebagai trait, yaitu :
1.      Openness (57%) atau keterbukaan, yaitu menghargai seni, emosi, petualangan, ide-ide baru imajinasi, keingintahuan, dan pengalaman baru. Lawan dari trait ini adalah ketertutupan, konservatif, apa adanya.
2.      Extraversion (54%) atau Ekstraversi, yaitu penuh energy, emosi positif, serba darurat, cendrung mencari teman.
3.      Conscientiuosness (49%), atau Kesadaran diri, yaitu disiplin diri, utamakan tugas dan kewajiban, hasrat prestasi yang tinggi, serba terencana, serba terkendali, termasuk mampu mengendalikan dorongan-dorongannya sendiri.
4.      Neuroticism (48%), atau Pencemas, yaitu cenderung kepada emosi negative seperti marah, cemas, dan depresi, emosi labil, memandang semua situasi sebagai ancaman dan masalah kecil di anggap sangat sulit.
5.      Agreeableness (42%) atau santai, yaitu kecenderungan untuk senang dan bekerja sama dengan orang lain, jauh dari curiga dan antagonis, menyukai harmoni sosial, gampang bergaul, pengertian, suka menolong, ramah, murah hati, jujur, dan bisa dipercaya.

Namun, perlu dicatat bahwa konsep tentang trait pernah ditentang beberapa pakar. Salah satunya adalah Loehlin (dalam Sarlito,2012) yang meneliti sejumlah besar anak kembar dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal neuroticism dan extraversion antara anak-anak kembar dan bukan kembar. Walaupun begitu, sejumalh peneliti lain memang mendukung adanya factor trait yang mempunyai pengaruh terhadap perilaku, seperti misalnya trait akan muncul pada situasi-situasi yang penuh tekanan atau ketika suatu tindakan bisa menimbulkan konsekuensi yang sangat serius. Trait terkandung dalam kecerdasan emosi. Orang dengan trait marah yang rendah dengan sendirinya akan menggunakan kognisinya untuk mengontrol situasi dalam konteks yang mengandung permusuhan. Dan studi-studi biometric pun membuktikan adanya kontribusi yang cukup besar dari factor-faktor genetic terhadap dimensi-dimensi kepribadian yang utama. Sementara itu, penelitian lain lagi mengambil jalan tengah, yaitu bahwa trait memang ada, namun realisasinya dalam perilaku sangat dipengaruhi oleh factor lingkungan, seperti budaya dan juga usia.
Khususnya pada diri remaja, proses perubahan karena pengalaman dan usia merupakan hal yang harus terjadi, karena dalam proses pematangan kepribadiannya, remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke permukaan sifat-sifat (trait) nya yang sebenarnya, yang harus berbenturan dengan rangsangan-rangsangan dari luar. Menurut Richmond & Skalansky (dalam Sarlito,2012) inti dari tugas perkembangan seseorang dalam periode remaja awal dan menengah adalah memperjuangkan kebebasan. Sedangkan menemukan kepribadian yang khas dalam periode itu belum menjadi sasaran utama.

B.      Jenis-Jenis Konsep Diri
Konsep diri terbagi atas konsep diri yang negative dan konsep diri yang positif R.B.Burns,1993 (dalam inge hutagalung,2007). Karakteristik mengenai konsep diri yang negative secara umum tercermin dari keadaan diri sebagai berikut:
1.      orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  • Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.
  • Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.
  • Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
  • Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.
2.      Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
  • Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.
  • Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan.
  • Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.
  • Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.
  •  Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

C.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Stuart dan Sudeen (dalam Inge hutagalung,2007) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri), untuk lebih jelasnya mari kita baca lebih lanjut tentang “Faktor yang mempengaruhi Konsep Diri” berikut ini:
1.      Teori perkembangan.
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.
2.      Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat)
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.
3.      Self Perception (persepsi diri sendiri)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.